SELAMAT DATANG DI KAWASAN JARUM SUNTIK

Menikmati Masa Remaja dengan Sehat


                
Remaja yang sehat akan tumbuh menjadi orang tua penghasil generasi tangguh.

Sejak dulu, remaja disebut-sebut sebagai masa penuh gejolak dan tekanan hidup. G Stanley Hall yang dinobatkan sebagai bapak psikologi remaja menyimpulkan demikian di awal abad ke-20. Namun, yang berhasil menapakinya dengan sehat dan menyenangkan sebetulnya juga banyak.

Apa sebetulnya yang membuat Hall berpendapat demikian? Mari tengok perubahan apa saja yang terjadi selama masa remaja. "Terperangkap di zona antara kanak-kanak dan dewasa menghadirkan tantangan tersendiri," jelas dr Meita Dhamayanti SpA(K) MKes.

Ketika remaja, lanjut Meita, tiap individu mengalami perubahan fisik, psikologis, dan kognitif. Mereka secara biologis sudah mampu menjadi ayah dan ibu. "Namun, remaja belum cukup dewasa untuk menjalankan peran itu."

Seseorang dikatakan remaja saat ia berusia antara 12 sampai 18 tahun. Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) malah mengategorikan remaja pada anak usia 10 hingga 19 tahun. "Di Indonesia, di tahun 2008 jumlah remaja mencapai 62 juta jiwa," kata ketua Satgas Remaja Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini.

Remaja yang 'bermasalah' sebetulnya tak banyak jumlahnya. Namun, mereka bisa memengaruhi teman sebayanya. "Mereka yang niat dan tekadnya kurang kuat dan kurang dialog di rumah sangat mungkin terseret pergaulan yang tidak baik," ungkap dr Soedjatmiko SpA(K) MSi.

Remaja perlu menyadari perubahan yang dialami tubuhnya. Di periode kehidupan ini, dorongan testosteron meningkat, sementara kecerdasan emosi ketinggalan kecepatan perkembangannya. "Yang kurang kontrol dirinya akan tergoda mencicipi narkotika, mulai merokok, memacu kendaraan dengan laju tinggi, atau mencoba berhubungan badan sebelum waktunya," papar Soedjatmiko.

Citra keliru
Orang tua dan lingkungan harus mengerti remaja menganggap penting citra tubuhnya (body image). Mereka juga mudah menerima pendapat kawanannya. "Remaja pun ingin sekali dibilang keren dan hebat," ujar Soedjatmiko dalam seminar menyambut hari jadi ke-56 IDAI pada pertengahan Juni (16/6) lalu di Jakarta.

Remaja kerap dibilang keren jika putih dan tinggi. Ini pencitraan yang keliru. "Warna kulit itu bawaan genetik, remaja Indonesia tidak perlu bleaching, tak butuh pemutih kulit," tegas dokter spesialis anak yang mendalami pediatri sosial ini.

Demikian pula soal tinggi badan. Seberapa semampai seorang remaja juga ditentukan potensi genetiknya. "Yang perlu diupayakan bagaimana ia bisa mencapai tinggi badan optimal," komentar Soedjatmiko.

Terlepas dari penampakan fisik, lanjut Soedjatmiko, ada hal lain yang harus menjadi prioritas. Remaja harus sehat. "Penting untuk melalui masa remaja tanpa mengidap penyakit yang berbahaya."

Soedjatmiko mengungkapkan, sebanyak 26 persen remaja Indonesia mengalami anemia. Dampak anemia di masa depan jauh lebih serius ketimbang lemah dan lesu yang dirasakan mereka sekarang. "Remaja anemia nanti ketika hamil akan mengandung janin yang terhambat perkembangan otaknya dan IQ di bawah rata-rata," urai mantan ketua III PP IDAI ini.

Peran orang tua
Ingin jauh dari kesan lemot? Ayo, sarapan pagi. "Otak butuh glukosa dan zat esensial lain untuk bisa bekerja dengan baik," ucap ketua Divisi Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.

Sekitar 30 persen remaja terpantau IDAI tidak rutin makan pagi. Sementara itu, di sekolah, mereka melahap jajanan tinggi karbohidrat. "Alhasil, mereka menjadikan dirinya rawan obesitas," imbuh Soedjatmiko.

Terkait pola makan ini, Soedjatmiko mengimbau orang tua muda untuk memperhatikan apa yang masuk ke mulut anaknya. Sedari kecil, kebiasaan makan dengan gizi seimbang harus dibentuk. "Hargai pendapatnya tentang cita rasa makanan."

Sejalan waktu, anak akan menunjukkan kecenderungan ketidaksukaannya pada makanan tertentu. Tak perlu memaksanya untuk menelan bahan makanan tersebut. "Sebaliknya, cari alternatif lain yang dapat menyempurnakan gizinya," saran dokter yang sering menjadi pembicara seminar ini.

Pola asuh seperti ini akan membentuk anak tumbuh menjadi remaja yang berkualitas. Remaja terasah untuk berpikir dan mengekspresikan isi pikiran dan kehendaknya. "Biasakan komunikasi terbuka sejak dini," kata Soedjatmiko.


Sekarang Untuk Nanti


Kelak, para remaja akan menjadi ayah dan ibu. Mereka bisa menjalankan perannya secara bermutu jika fisik, kognitif, dan perilakunya sehat. "Bagaimana kondisi kesehatannya di masa depan sangat bergantung pada bagaimana mereka menjalani masa remaja," papar dr Soedjatmiko SpA(K) MSi.

Remaja yang sehat harus terbebas dari status gizi buruk, tidak anemia, dan tidak ada penyakit. Mereka juga harus memiliki pengetahuan tentang kehamilan, persalinan, dan pengasuhan bayi dan balita. "Sehingga, nantinya mereka menjadi orang tua yang berperilaku sehat dan menjadi contoh bagi anaknya," kata anggota Forum Pusat Pengembangan Anak Usia Dini (PAUD) ini.

Makna sehat sejatinya bukan cuma tidak sakit. Lebih dari itu, orang yang sehat dapat hidup secara berkualitas. "Bagi yang pernah sakit, tentu harus ada upaya rehabilitasi agar bisa hidup lebih berkualitas," cetus Soedjatmiko.

Salah satu hal yang dapat memberi perlindungan pada kesehatan ialah imunisasi. Remaja pun membutuhkannya. "Untuk mengejar kelengkapan imunisasi," ungkap Soedjatmiko.

Imunisasi apa saja yang diperlukan remaja? Tentu saja pencegah penyakit yang dominan pada remaja. "Baik sebagai imunisasi ulangan ataupun baru," jelas sekretaris Satgas Imunisasi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini.

Tetanus toksoid, contohnya. Imunisasi ini dibutuhkan sebagai bekal untuk persiapan menjelang pernikahan nanti. "Supaya nanti ketika hamil, bayinya bisa minum, lancar bernapas, dan tidak kejang-kejang," ucap Soedjatmiko.

Lantas, vaksin mumps, morbilli, dan Rubella (MMR) juga disarankan oleh IDAI. Soedjatmiko menemukan banyak remaja perempuan yang terinfeksi rubella. "Saat mengandung, ia akan menghasilkan bayi yang cacat dan jika bertahan hidup ia akan seumur hidup bergantung pada orang lain."

Selain itu, Soedjatmiko mengimbau remaja untuk mendapatkan vaksin influenza dan demam tifoid. Keduanya diperlukan agar mereka tidak cepat rontok oleh flu. "Imunisasi ini dapat menurunkan angka absensi siswa."

Soedjatmiko pun menganjurkan agar remaja putri mendapatkan vaksinasi human papiloma virus (HPV). Terutama bagi para putri yang sudah berusia 10 tahun. "Cegah kanker serviks di awal masa remajanya."

Mengapa sedini itu? Sebab, manifestasinya baru akan tampak setelah parah, ketika remaja putri itu sudah berusia 30 tahunan. "Sekitar 15 tahun kemudian infeksi HPV dapat berkembang menjadi kanker serviks yang terasa amat menyakitkan, ada perdarahan, dan dapat berujung pada kematian," jelas Soedjatmiko.


Ketika Remaja Hamil

Dr Soedjatmiko menyayangkan gaya hidup artis dengan perilaku seks bebasnya. Remaja Indonesia diharapkan tidak menirukan kelakuan buruk itu. "Remaja harus bisa memisahkan yang baik dan tidak baik."

Soedjatmiko juga mengimbau agar remaja tidak menikah di usia dini. Mereka masih harus menyiapkan diri untuk masa depannya sebagai calon tenaga kerja dan kelak menjadi orang tua. "Jangan sampai hamil di usia remaja apalagi pranikah."

Seruan itu dilontarkan Soedjatmiko mengingat organ reproduksi belum siap untuk menjadi tempat hidupnya janin. Kehamilan di usia remaja sangat berisiko. "Mulai dari perdarahan, bayi berat lahir rendah, dan tidak lancarnya produksi ASI."

Lebih lanjut, dr Meita Dhamayanti SpA(K) MKes mengatakan, seks pranikah membuat remaja berisiko mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Kejadian ini bisa diikuti kawin muda atau aborsi yang membahayakan nyawanya sendiri. "Kalaupun tidak hamil, perilaku ini juga meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi menular seksual dan HIV/AIDS." 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar