SELAMAT DATANG DI KAWASAN JARUM SUNTIK

TAK BENAR PENDIDIKAN SEKS MENDORONG BERHUBUNGAN SEKS



Berdasarkan kesepakatan internasional di Kairo 1994 (The Cairo Consensus) tentang kesehatan reproduksi yang berhasil ditandatangani oleh 184 negara termasuk Indonesia, diputuskan tentang perlunya pendidikan seks bagi para remaja. Dalam salah satu butir konsensus tersebut ditekankan tentang upaya untuk mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi serta menyediakan informasi yang komprehensif termasuk bagi para remaja.

Sementara meninjau berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia, agaknya masih timbul pro kontra di masyarakat, lantaran adanya anggapan bahwa pendidikan seks akan mendorong remaja untuk berhubungan seks. Sebagian besar masyarakat masih berpandangan stereotype dengan pendidikan seks seolah sebagai suatu hal yang vulgar.

Manager Proyek Pusat Studi Seksual Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Tito, mengatakan, untuk mencegah perkembangan dari asumsi menyesatkan tersebut, tahun 2000 lalu PKBI telah melakukan penelitian berkaitan dengan kebenaran asumsi bahwa ketika siswa diberi pendidikan seksualitas maka mereka akan mencoba untuk melakukan hubungan seks.

Faktanya dari 100 responden 100 persen mengatakan, dengan diberi pendidikan seks, mereka justru lebih mempertimbangkan risiko berhubungan seksual. Sedangkan dari 100 orang guru yang juga dijadikan responden 57,14 persen tidak setuju dengan asumsi tersebut. "Hasil penelitian ini juga bisa dijadikan sebagai bukti bahwa tidak benar jika orang melakukan perkosaan ataupun melakukan hubungan seks justru setelah mendapatkan pendidikan seks," tutur Tito.

Menurut Tito, asumsi tesebut hanyah merupakan wujud kekhawatiran orangtua yang berlebihan, atau rumor yang sengaja dibentuk oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Masyarakat juga perlu tahu, bahwa dalam memberikan pendidikan seks tidak dilakukan dengan sembarangan. Akan tetapi, kemasannya juga berusaha disesuaikan dengan usia dan perkembangan si anak. Dengan memakai bahasa yang komunikatif dan juga dijauhkan dari kesan vulgar.

Informasi yang disajikan pun tidak hanya masalah proses reproduksi, tapi juga bagaimana mereka harus menjaga kesehatan alat reproduksinya, bagaimana menyikapi tanda_tanda kedewasaan yang dialami. Mulai dari makna mimpi basah bagi pelajar laki_laki, menstruasi yang dialami perempuan, penyakit kelamin yang bisa saja muncul dan bagaimana mengantisipasinya serta berbagai per masalahan lainnya.

Materi_materi tersebut juga tidak langsung diberikan pada seorang anak, akan tetapi dilakukan secara bertahap. Misal saat anak mencapai usia yang memang dalam perkembangannya tersebut mudah menerima informasi dalam bentuk visualisasi, pendidikan diberikan dengan cara_cara visualisasi (gambar) itupun hanya sebatas pengenalan. Apabila kemampuan kognitifnya sudah mulai berkembang maka remaja telah diajak untuk bermain logika. "Dengan pemberian informasi disesuaikan dengan perkembangan usia, maka tentu akan sangat membantu dalam proses penerimaan mereka," tambah Tito.

Ia menurutkan, realitas yang terjadi, kebanyakan remaja yang terjerumus pada perilaku seks yang tidak sehat ataupun menyimpang, justru disebabkan karena minimnya pengetahuan mereka tentang hal itu. "Mereka tidak tahu dampak dari perbuatannya, tidak tahu bagaimana mengendalikannya dan terperosok pada informasi yang menyesatkan," tandasnya. Karena memang sampai saat ini media yang digunakan juga masih sangat terbatas. Ketika ditanya tentang kemungkinan untuk dijadikan sebagai kurikulum pendidikan, menurut Tito, "Masih merupakan proses yang sangat panjang." Ia menegaskan untuk sementara mungkin melalui biro konseling terlebih dulu, atau program pendampingan di sekolah